Kamis, 29 November 2012

PRINSIP ETIS DALAM BISNIS






Restie dwi oktianis 
15209739
4ea16
Bisnis dapat diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia, dan masing-masing pihak tentunya memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa bisnis adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Untuk memaksimumkan keuntungan tersebut, maka tidak dapat dihindari sikap dan perilaku yang menghalalkan segala cara yang sering tidak dibenarkan oleh norma moral.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar kita selalu harus menghormati martabat manusia. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, menurutnya prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: “hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Misalnya, mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat dan harus diberikan gaji yang pantas.
Sejarah mencatat Revolusi Industri yang terjadi dari 1760 sampai 1830 dengan tujuan untuk memaksimalisasi keuntungan, menyebabkan tenaga buruh dihisap begitu saja, sungguh diperalat. Upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan. Jika buruh jatuh sakit ia sering diberhentikan dan dalam keadaan lain pun buruh bisa diberhentikan dengan semena-mena. Lebih parahnya, banyak dipakai tenaga wanita dan anak dibawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah lagi dan mereka tidak mudah memberontak. Hal ini menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis bisa membawa akibat kurang etis.
Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Di lain pihak keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Ronald Duska (1997) dalam Bertens (2000), mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive. Maksud bersifat obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Keuntungan tidak merupakan maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan bisnis. Oleh karena itu, bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan.
Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tetapi tidak menjadi tujuan terakhir bisnis itu sendiri. Oleh karenanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, dengan tidak mengabaikan perlunya (Bertens, 2000), adalah sebagai berikut:
1.      Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
2.      keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
3.      keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
4.      keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
5.      keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.

Dari konsep relativitas keuntungan diatas, mengisyaratkan bahwa keuntungan bukan yang utama dalam bisnis. Persepsi manfaat dari pencapaian keuntungan harus dirubah, karena bisnis bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan materiil. Untuk itu prinsip-prinsip etika yang diterapkan dalam kegiatan bisnis pada perusahaan-perusahaan bisnis, haruslah mengacu pada stakeholders benefit. Stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan tapi juga kepentingan semua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.
Beberapa prinsip etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon (1993) dalam Bertens (2000), yang memfokuskan pada keutamaan pelaku bisnis individual dan keutamaan pelaku bisnis pada taraf perusahaan. Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis individual, yaitu:
a.      Kejujuran
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveat emptor yaitu hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah ini mengajak pembeli untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku bisnis yang tidak jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran, namun dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap harus menjadi rahasia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap informasi yang tidak benar belum tentu menyesatkan juga.
b.      Fairness
Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan ”wajar” yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.
c.       Kepercayaan
Kepercayaan adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini boleh mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan yang sama. Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Catatan penting yang harus dipegang adalah tidak semua orang dapat diberi kepercayaan dan dalam memberikan kepercayaan kita harus bersikap kritis. Kadang kala juga kita harus selektif memilih mitra bisnis. Dalam setiap perusahaan hendaknya terdapat sistem pengawasan yang efektif bagi semua karyawan, tetapi bagaimanapun juga, bisnis tidak akan berjalan tanpa ada kepercayaan.


d.      Keuletan
Keutamaan keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia juga tidak luput dari gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan keberanian moral.

Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:

a.      Keramahan
Keramahan tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan, tapi menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun juga bisnis mempunyai segi melayani sesama manusia.
b.      Loyalitas
Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari perusahaan yang memiliki rasa ikut memiliki perusahaan tempat ia bekerja.
c.       Kehormatan
Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib perusahaan dirasakan sebagai sebagian dari nasibnya sendiri. Ia merasa bangga bila kinerjanya bagus.
d.      Rasa Malu
Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan. Walaupun ia sendiri barang kali tidak salah, ia merasa malu karena perusahaannya salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar