BISNIS YANG KURANG BERETIKA
Kasus Lapindo sebagai suatu Bisnis Tak Beretika
Secara
konsep kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan
sebagai hal yang mutlak untuk dipertimbangkan namun salam implementasinya
terjasi kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai
peraturan yang terkait dengan sumber daya alam. Peraturan yang dibuat cenderung
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai,
sehingga membuka ruang yan sebesar- besarnya bagi pemilik modal.
Lemahnya
implementasi di bidang hukum yang mengatur pelaksanaan dan pengawasan
pelestarian terjadi juga di bidang lingkungan hidup. Sebagai contoh Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), dalam
implementasinya hanya merupakan kebijakan yang bersifat reaktif dan sesaat
(temporary) atau suatu kebijakan yang secara konsep bagus tetapi dalam
pelaksanaannya tidak terpantau secara berkesinambungan, lemah dalam manajemen
kontrol, cenderung tidak konsisten dan persisten. Hal yang serupa disampaikan
bahwa tingginya kerusakan sumber daya alam hayati di Indonesia disebabkan salah
satunya adalah banyaknya kebijakan sektoral dan bersifat eksploitatif yang
saling tumpang tindih dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dampak
dari eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan
implementasi kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia
beberapa tahun belakangan ini. Berbagai bencana terjadi silih berganti, mulai
dari bencana yang diakibatkan oleh dampak fenomena alam seperti Tsunami di
Aceh, tanah longsor dan banjir di berbagai daerah sampai pada bencana yang
diakibatkan adanya faktor kelalaian manusia dalam usaha mengeksploitasi alam
tersebut seperti kasus Teluk Buyat di Sulawesi, Freeport di Papua sampai dengan
yang sekarang menjadi bencana nasional yaitu kasus semburan lumpur panas
Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.
Kasus
luapan lumpur Lapindo adalah salah satu contoh kebijakan pembangunan yang dalam
implementasinya telah terjadi pergeseran orientasi, yaitu kebijakan pembangunan
yang cenderung mengabaikan faktor kelestarian lingkungan. Atau suatu kebijakan
yang tidak memasukkan faktor lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk
dipertimbangkan mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap
pelaksanaannya. Salah satu contohnya adalah tidak ditepatinya kebijakan
lingkungan yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebelum suatu perusahaan
mendapatkan ijin untuk melakukan usahanya. Pertimbangan kebijakan lingkungan
tersebut antara lain : jarak rumah penduduk dengan lokasi eksplorasi, mentaati
standar operasional prosedur teknik eksplorasi, dan keberlanjutan lingkungan
untuk masa yang akan datang.
Secara garis besar pelaksanaan, pengawasan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup dijalankan perangkat hukum antara lain AMDAL yang merupakan suatu prosedur preventif yang memberikan analisa menyeluruh dan terinci tentang segala dampak langsung yang mungkin timbul dari proyek yang direncanakan, cara-cara yang mungkin mengatasinya dan rencana kerja untuk mengelola, mengawasi dan mengevaluasi dampak-dampak yang ditimbulkan dan efektifitas pelaksanaan rencana kerja.
Secara garis besar pelaksanaan, pengawasan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup dijalankan perangkat hukum antara lain AMDAL yang merupakan suatu prosedur preventif yang memberikan analisa menyeluruh dan terinci tentang segala dampak langsung yang mungkin timbul dari proyek yang direncanakan, cara-cara yang mungkin mengatasinya dan rencana kerja untuk mengelola, mengawasi dan mengevaluasi dampak-dampak yang ditimbulkan dan efektifitas pelaksanaan rencana kerja.
Lapindo
Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran
PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group.
Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai
US$ 24 juta. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpangsiuran
prosedur dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak
konsesi eksplorasi Lapindo diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah
Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan
oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan
keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa
Rencana Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana
eksplorasi dan eksploitasi tersebut.
Dampak
dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 ini telah
mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau
setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila
penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas
panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata
mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik
masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik
diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup
buatannya, dimana dalam kasus ini Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal
krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.
Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan berbagai pihak selama ini
antara lain :
1. Lumpuhnya
sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai mana diketahui Sidoarjo
merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya dalam sektor
industri. Hingga kini sudah 25 sektor usaha tidak dapat beroperasi yang
berakibat hilangnya mata pencaharian ribuan karyawan yang bekerja pada sektor
industri tersebut.
2. Lumpuhnya
sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti rusaknya
jalan, jalan tol dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi
kereta api dll.
3. Kerugian
di sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah
diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami
kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian
Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang
terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Lumpur telah menggenangi
duabelas desa di tiga kecamatan, tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur,
menggenangi sarana dan prasarana publik, Sekitar 30 pabrik yang tergenang
terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja.
Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini, serta
memindah paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.
4. Dampak
sosial kehidupan masyarakat disekitar seperti sarana tempat tinggal, pendidikan,
kesehatan, sarana air bersih dll. Bahwa efek langsung lumpur panas menyebabkan
infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila berlebihan
menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan akumulasi yang berlebihan
pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya kecerdasan.
5. Hasil
uji laboratorium juga menemukan adanya kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya
yaitu kandungan (B3) yang sudah melebihi ambang batas. Hasil uji kualitas air
lumpur Lapindo pada tanggal 5 Juni 2006 oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa
Timur, menunjukkan bahwa uji laboratorium dalam air tersebut terdapat kandungan
fenol. Kontak langsung dengan kulit dapat mengakibatkan kulit seperti terbakardan
gatal-gatal. Fenol bisa berakibat menjadi efek sistemik atau efek kronis jika
fenol masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol bisa
mengakibatkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantungberdebar (cardiac
aritmia), dan gangguan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa selain dampak
kerusakan lingkungan fisik, lumpur panas tersebut juga mengakibatkan ancaman
lain yaitu efek kesehatan yang sangat merugikan dimasa yang akan datang dan hal
ini justru tidak diketahui oleh masyarakat korban pada umumnya.
Dalam arti gramatikal, kejahatan
korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya
hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata.
Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan penambangan gas di Blok
Brantas oleh Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian kejahatan korporasi
adalah merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai
adanya kesalahan manusia atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang
lain adalah merupakan perbuatan tindak pidana.
Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Lapindo Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan.
Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Lapindo Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan.
Dalam kasus Lapindo ditemukan
beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasalpasal dalam
undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana (KUHP)
dan hukum Perdata (KUHPer). Sampai dengan saat ini bahwa upaya dalam
penanggulangan dampak tersebut dirasakan berbagai pihak kurang optimal
dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi. Hingga saat ini tindakan nyata dari
Lapindo Brantas (Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada
Blok Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang
diderita warga sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan
lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan
sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan
sistematis. Peristiwa ini tentu saja mengundang masyarakat untuk berkomentar
terhadap pertanyaan dimana dan sampai sejauh mana letak pertanggungjawaban
Lapindo Brantas Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar