Jumat, 26 Oktober 2012

DISKUSI DENGAN DOSEN TENTANG KATA PELACUR, PRAMUNIKMAT, PEKERJA SEKS KOMERSIAL





Rupanya, kurangnya penghargaan terhadap kata tidak hanya terbatas pada rumah liar  saja yang diganti menjadi rumah bermasalah. Terhadap pelacur pun telah ditawarkan sejumlah kata sebagai pemanis bibir, yang jika dikaji lebih jauh benar-benar telah menghilangkan siFat dan hakekatnya. Misalnya pada satu kurun waktu tertentu, telah ditawarkan kata wanita tuna susila untuk mengganti kata pelacur. Dalam perkembangan selanjutnya, kata wanita susila pun dilunakkan lagi menjadi pekerja seks. Dari kata pekerja seks diubah lagi sebutannya menjadi semakin lunak yakni pekerja seks komersial. Rupa rupanya terhadap kata peeska ini pun masih dinilai kasar sehingga ditawarkan lagi alternatif baru menjadi pramunikmat. Akibat dari begitu gampangnya mengubah kata, maka yang terjadi kemudian pelacur bergentayangan menjajakan dirinya dengan publikasi identitas murahan yang meluluhlantakkan marwah negeri. Wanita bersandal tinggi, berbaju ala bikini begitu gampang ditemui di setiap sudut negeri. Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana, karena sanksi moral yang melekat terhadap kata sudah dihilangkan.

Menjadi pelacur sangat memalukan, tetapi menjadi pekerja seks komersial atau pramunikmat adalah sebuah lowongan kerja baru guna mendukung pariwisata. Itulah sebabnya kepada sang dosen saya mengatakan bahwa bagi laki-laki di negeri antah berantah itu menggunakan body service para wanita bukanlah suatu dosa tapi merupakan sebuah kebaikan, karena hal tersebut sebagai pengejawantahan kepedulian laki-laki untuk membantu memberikan kerja kepada wanita. Dan memberikan pekerjaan  kepada orang yang memerlukannya adalah sebuah kebaikan. Sang dosen dengan penuh rasa heran kemudian bertanya kepada saya, mengapa anda sampai  memberikan penafsiran sejauh itu? SaYa katakan sekali lagi, bahwa kesalahan bukan pada penafsiran saya. Tetapi pada kesalahan kita dalam menggunakan kata. Pelacur jelas memiliki  sanksi moral yang sangat berat, tetapi ketika kata pelacur telah diubah menjadi peeska atau pramunikmat maka sanksi moralnya lenyap beralih menjadi sebuah profesi dan jenis pekerjaan baru.

Dengan penuh tanda tanya, sang dosen tampaknya ingin berinterupsi untuk mendebat saya tapi melihat gelagat yang demikian itu, saya cepat-cpat memotong. Sudahlah pak hal yang saya nyatakan tadi itu belum seberapa. Masih ada kesalahan yang lebih fatal yang kita perbuat terhadap kata. Saya kemudian terus berceritakesalahan yang saya maksudkan itu berupa semakin banyaknya maling berdasi di negeri antahberantah itu. Mengapa maling berdasi itu banyak? Jawabnya, karena kita lebih suka menyebut mereka dengan koruptor. Padahal kata yang tepat untuk menyebut mereka adalah maling negara.

Tapi sekali lagi, dengan penuh keyakinan dan supaya kelihatan keren, ternyata kita lebih suka menyebut mereka dengan koruptor. Akibatnya ketika mereka disidang, mereka cuek saja. Paling yang ada dipikiran mereka, jika perkara sudah selesai, aku akan pindah ke kampung saja, sebab di kampung kata ko-ruptor karang digunakan. Bisa-bisa orang kampung menganggap sang koruptor ini sebagai pahlawan tak ubahnya dengan tokoh proklamator.
Sang Dosen mendengar penjelasan ini tentu saja berang. Dengan seteguk kopi, ia kemudian mengakhiri diskusi kami, “Sudahlah, yang jelas aku tidak mendidik engkau untuk menjadi seperti ini”. Jawabku, “saya mengerti apa yang bapak maksudkan itu, yang saya tidak mengerti mengapa kita terlampau mudah mengubah kata, sehingga makna hakiki yang ada dibalik kata tersebut telah kehilangan daya dan tenaganya”. Bukankah ini cerminan bahwa betapa tidak pandainya kita berterimakasih terhadap kata? Jadi Sutardji Calzoum Bahri itu benar pak, bahwa pada akhirnya adalah kata.!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar