Rupanya, kurangnya penghargaan terhadap kata
tidak hanya terbatas pada rumah liar saja yang diganti menjadi rumah
bermasalah. Terhadap pelacur pun telah ditawarkan sejumlah kata sebagai pemanis
bibir, yang jika dikaji lebih jauh benar-benar telah menghilangkan siFat dan
hakekatnya. Misalnya pada satu kurun waktu tertentu, telah ditawarkan kata
wanita tuna susila untuk mengganti kata pelacur. Dalam perkembangan
selanjutnya, kata wanita susila pun dilunakkan lagi menjadi pekerja seks. Dari
kata pekerja seks diubah lagi sebutannya menjadi semakin lunak yakni pekerja
seks komersial. Rupa rupanya terhadap kata peeska ini pun masih dinilai kasar
sehingga ditawarkan lagi alternatif baru menjadi pramunikmat. Akibat dari
begitu gampangnya mengubah kata, maka yang terjadi kemudian pelacur
bergentayangan menjajakan dirinya dengan publikasi identitas murahan yang
meluluhlantakkan marwah negeri. Wanita bersandal tinggi, berbaju ala bikini
begitu gampang ditemui di setiap sudut negeri. Mengapa ini terjadi? Jawabannya
sederhana, karena sanksi moral yang melekat terhadap kata sudah dihilangkan.
Menjadi pelacur sangat memalukan, tetapi
menjadi pekerja seks komersial atau pramunikmat adalah sebuah lowongan kerja
baru guna mendukung pariwisata. Itulah sebabnya kepada sang dosen saya
mengatakan bahwa bagi laki-laki di negeri antah berantah itu menggunakan body
service para wanita bukanlah suatu dosa tapi merupakan sebuah kebaikan, karena
hal tersebut sebagai pengejawantahan kepedulian laki-laki untuk membantu
memberikan kerja kepada wanita. Dan memberikan pekerjaan kepada orang
yang memerlukannya adalah sebuah kebaikan. Sang dosen dengan penuh rasa heran
kemudian bertanya kepada saya, mengapa anda sampai memberikan penafsiran
sejauh itu? SaYa katakan sekali lagi, bahwa kesalahan bukan pada penafsiran
saya. Tetapi pada kesalahan kita dalam menggunakan kata. Pelacur jelas
memiliki sanksi moral yang sangat berat, tetapi ketika kata pelacur telah
diubah menjadi peeska atau pramunikmat maka sanksi moralnya lenyap beralih menjadi
sebuah profesi dan jenis pekerjaan baru.
Dengan penuh tanda tanya, sang dosen tampaknya
ingin berinterupsi untuk mendebat saya tapi melihat gelagat yang demikian itu,
saya cepat-cpat memotong. Sudahlah pak hal yang saya nyatakan tadi itu belum
seberapa. Masih ada kesalahan yang lebih fatal yang kita perbuat terhadap kata.
Saya kemudian terus berceritakesalahan yang saya maksudkan itu berupa semakin
banyaknya maling berdasi di negeri antahberantah itu. Mengapa maling berdasi
itu banyak? Jawabnya, karena kita lebih suka menyebut mereka dengan koruptor.
Padahal kata yang tepat untuk menyebut mereka adalah maling negara.
Tapi sekali lagi, dengan penuh keyakinan dan
supaya kelihatan keren, ternyata kita lebih suka menyebut mereka dengan
koruptor. Akibatnya ketika mereka disidang, mereka cuek saja. Paling yang ada
dipikiran mereka, jika perkara sudah selesai, aku akan pindah ke kampung saja,
sebab di kampung kata ko-ruptor karang digunakan. Bisa-bisa orang kampung
menganggap sang koruptor ini sebagai pahlawan tak ubahnya dengan tokoh
proklamator.
Sang Dosen mendengar penjelasan ini tentu saja
berang. Dengan seteguk kopi, ia kemudian mengakhiri diskusi kami, “Sudahlah,
yang jelas aku tidak mendidik engkau untuk menjadi seperti ini”. Jawabku, “saya
mengerti apa yang bapak maksudkan itu, yang saya tidak mengerti mengapa kita
terlampau mudah mengubah kata, sehingga makna hakiki yang ada dibalik kata
tersebut telah kehilangan daya dan tenaganya”. Bukankah ini cerminan bahwa
betapa tidak pandainya kita berterimakasih terhadap kata? Jadi Sutardji Calzoum
Bahri itu benar pak, bahwa pada akhirnya adalah kata.!!!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar