Restie dwi oktianis
15209739
4ea16
Dalam press
release perusahaan itu disebutkan bahwa sumbangan tersebut merupakan
aktivitas Corporate Social Responsilibity (CSR). Klaim itu rupanya menuai
banyak tanggapan, yang intinya mengatakan kegiatan tersebut tak layak disebut
CSR atau CSR yang salah.
Berangkat dari
kasus kecil di atas, sejatinya agak sulit mendiskripsikan yang namanya CSR,
apalagi jika penilaiannya layak atau tidak, benar atau salah.
Jauh sebelum
istilah CSR dikenal, sejumlah perusahaan memang sudah mengandalkan program
sosial sebagai program komunikasinya, melalui community relations/community
development program.
Cara itu umumnya
dilakukan oleh perusahaan yang berbasis alam, seperti OGM (oil gas mining),
perkebunan, pabrik-pabrik yang menghasilkan limbah, dan sebagainya. Merekalah
yang selama ini gencar melakukan community relations. Bahkan sebagian
besar anggaran komunikasinya adalah untuk CSR.
Perkembangan bisnis
dan tuntutan global agar dunia usaha menjalankan bisnis secara sehat dan etis
membuat kegiatan sosial pun makin beragam wujudnya. Mulailah industri-industri
”ringan” memasukkan CSR dalam program kampanye perusahaan.
Contoh yang paling
terkenal adalah The Body Shop. Pendirinya, Anita Roddick, sejak awal memang
mengaplikasikan ”green concept” dalam perusahaan penghasil kosmetik ini.
Saat ini, tuntutan
untuk melakukan CSR makin tinggi termasuk perusahaan di Indonesia, terutama
ketika hendak go global atau sekadar menjalin kerja sama dengan
perusahaan dari negara maju. Biasanya yang ditanyakan oleh calon mitra bisnis
adalah apa saja program CSR yang sudah dilakukan. Ibaratnya CSR sudah menjadi
semacam stimulan bisnis saat akan bekerja sama dengan perusahaan dari negara
maju.
Lalu bagaimana
aplikasi CSR yang sesuai untuk industri-industri ”ringan”, yang notenebe bukan
pencemar lingkungan, seperti perusahaan berbasis teknolog informasi,
telekomunikasi atau perbankan/keuangan?
Seperti digagas
Philip Kotler dan Nancy Lee dalam bukunya berjudul Corporate Social Responsibility,
sejatinya CSR merupakan instrumen penting dalam menunjang strategi perusahaan,
yakni pencapaian citra yang diinginkan serta tujuan komersial. Oleh sebab itu,
aplikasinya memang harus ”nyambung” dengan strategi bisnis yang ada, entah itu corporate
social responsibility, corporate citizenship, community development, community
giving, atau community involvement.
CSR ala Kotler dan Lee
Dalam CSR konsep
Kotler dan Lee disebutkan ada 6 opsi. Pertama, cause promotion.
Perusahaan mensponsori sebuah kegiatan sosial yang sedang jadi perhatian
masyarakat, untuk meningkatkan citra perusahaan. Misalnya, fun walk,
gerakan hijau, atau soal endemi flu burung. Atau bisa saja seperti yang
dilakukan perusahaan telekomunikasi XL yang menyediakan fasilitas telepon gratis
di lokasi-lokasi bencana alam. Contoh lain, Unilever yang mendukung kampanye
hijau.
Contoh yang ekstrem
adalah PT Djarum. Perusahaan rokok ini habis-habisan melakukan CSR di bidang
bulutangkis; mendirikan sekolah bulutangkis, membuat klub, memberikan beasiswa,
dan rutin melakukan aneka lomba dan mensponsori berbagai acara bulutangkis baik
nasional maupun internasional.
Meski tak ada
korelasi antara produk (rokok) dengan olahraga (prestasi), tapi orang dengan
gampang bisa membaca aktivitas Djarum rersebut. Bulu tangkis adalah salah satu
cabang olah raga yang menjadi kebanggaan Indonesia, yang sampai saat ini
prestasinya masih punya pomor di dunia internasional. Dan Kudus (Djarum) adalah
salah satu sumber pemain bulu tangkis yang berkelas.
Kedua, cause-related
marketing, dalam bentuk sumbangan (persentase) hasil penjualan untuk
didonasikan. Ini paling banyak dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Misalnya, persentase dari hasil SMS pelanggan selama kurun waktu tertentu
didonasikan untuk kepentingan pendidikan.
Contoh lain pernah
dilakukan oleh produsen sabun, makanan, dan masih banyak lagi. Selain relatif
lebih mudah, cara ini sekaligus melibatkan pelanggan. Ada unsur emotional
relationship yang bisa dikembangkan antara produsen dan pelanggan, dimana melalui
program ini, kedua belah pihak terlibat dalam sebuah program sosial.
Ketiga, corporate
social marketing. Dalam konteks ini perusahaan biasanya berupa kampanye
untuk perubahan perilaku masyarakat. Bisa untuk tujuan meningakatkan kesadaran
akan hidup sehat, pemeliharaan lingkungan, dan lainnya. Gerakan cuci tangan
yang dilakukan oleh sebuah produsen sabun, bertujuan membiasakan masyakarat
mencuci tangan sebelum melakukan pelbagai aktifitas. Katakanlah kampanye
”Internet sehat” yang dilakukan dalam konteks untuk membawa masyarakat agar
bisa memanfaatkan Internet secara sehat.
Keempat, corporate
philanthropy. Ini yang paling jamak. Perusahaan memberikan donasi bagi
masyarakat yang memerlukan. Belakangan, konteks donasi ini dilakukan secara
lebih strategis. Artinya, philantropy dilakukan untuk mendukung tujuan
bisnis perusahaan. Seperti perusahaan ICT memberikan donasi berupa fasilitas
internet gratis di sebuah desa. Ini bisa dikolaborasikan dengan bentuk ketiga
di atas, di mana donasi ini dimanfaatkan untuk membiasakan masyarakat
menggunakan Internet, misalnya.
Kelima, community
volunteering. Saat ini sudah banyak perusahaan yang mengalokasikan sekian
jam/per tahun dari jam kerja karyawannya untuk pekerjaan sosial. Kegiatan ini
dihitung dalam KPI (key perfomance indicator) setiap karyawan.
Karyawan bisa melakukan kerja probono, sebagai sukarelawan, misalnya.
Keenam, social
responsible business practices. Intinya mengadopsi praktek bisnis yang
sesuai dengan isu sosial yang terjadi. Contohnya, perusahaan eceran yang mulai
menggunakan kertas daur ulang untuk kemasan produknya.
Enam pendekatan di
atas bisa menjadi acuan bagi perusahaan yang ingin menyertakan CSR sebagai
bagian operasional bisnisnya. Tentunya, apapun inisitif yang dipilih harus
disesuikan dengan visi dan sasaran perusahaan. Sebab, menurut Kotler, patokan
kesuksesan sebuah CSR adalah kemampuannya menunjang pencapaian strategi dan
tujuan perusahaan.
Nah, tantangannya
adalah bagaimana perusahaan mampu secara cerdik memilih fokus program CSR dan
bisa menjadikannya “kendaraan” untuk merangkul pelanggan di masa depan. Karena,
secara sederhana, CSR akan sangat powerfull untuk membangun pasar masa
depan. Membangun citra sekarang, dan memanen hasilnya kemudian adalah pola
kerja CSR. Bukan sebaliknya.