Basu Swastha Dharmmesta
NAMA : RESTIE DWI OKTIANIS
NPM : 15209739
PENDAHULUAN
Pemasar pada ummnya menginginkan bahwa pelanggan yang diciptakannya dapat dipertahankan selamanya. Baik pada perubahan pada diri pelanggan seperti selera maupun aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural pelanggan. Istilah loyalitas pelanggan sebetulnya berasal dari loyalitas merek yang mencerminkan loyalitas pelanggan pada merek tertentu.
Loyalitas dapat difahami sebagai sebuah konsep yang menekankan pada runtutan pembelian sepert yang dikutip oleh Dick dan Basu (1994) dari day (1969) dan jacoby dan Olson 91970). Jika pengertian loyalitas pelanggan menekankan pada runtutan pembelian, proporsi pembelian, atau dapat juga probabilitas pembelian, hal ini lebih bersifat operasional, bukannya teoritis. Penelitian tentang loyalitas merek selalu berkaitan dengan preferensi konsumen dan pembelian actual, meskipn bobot relatif yang diberikan pada kedua variabel itu dapat berbeda, bergantung pada bidang produk atau merek yang terlibat dan faktor situasional yang ada pada saat pembelian tertentu dilakukan. Sebagai contoh, loyalitas sebuah merek yang rentan terhadap perbedaan harga atau terhadap kondisi kehabisan persediaan memerlukan perhatian yang lebih besar pada penetapan harga kompetitif dan alokasi sumber yang lebih banyak untuk mempertahankan distribusi dibandingkan dengan loyalitas sebuah merek yang kurang rentan terhadap dua variabel pemasaran tersebut.
Pendekatan Atittudinal dan Behavioural
Pendekatan attitudinal sebagai koitmen psikologis dan pendekatan behavioural yang tercermin dalam perilaku beli aktual. Jacoby dan Kryner (1973) telah mengklarifikasi istilah tersebut melalui definisi yang mencakup enam kondisi yang secara kolektif memadai sebagai berikut :
Loyalitas merek adalah (1) respon keperilakuan (yaitu pembelian), (2) yang bersifat bias (nonrandom), (3) terungkap secara terus-menerus, (4) oleh unit pengambilan keputusan, (5) dengan memperhatikan satu atau beberapa merek alternatif dari sejumlah merek sejenis, dan (6) merupakan fungsi proses psikologis (pengambilan keputusan, evaluatif). Pemahaman tentang hubungan antara loyalitas merek secara psikologis dan faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian mencerminkan informasi kritis yang dapat mempengaruhi pengembangan rencana dan strategi pemasaran. Sebagai contoh, loyalitas sebuah merek yang rentan terhadap perbedaan harga atau terhadap kondisi kehabisan persediaan memerlukan perhatian yang lebih besar pada penetapan harga kompetitif dan alokasi sumber yang lebih banyak untuk mempertahankan distrbusi dibandingkan dengan loyalitas sebuah merek yang kurang rentan terhadap dua variabel pemasaran tersebut.
Mowen dan Minor (1998) menggunakan definisi loyalitas merek dalam arti kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Definisi yang dikemukakan oleh Mowen di muka didasarkan pada ke dua pendekatan, yaitu keperilakuan dan attitudinal. Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan keperilakuan. Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan keperilakuan, maka perlu dibedakan antara loyalitas merek dan perilaku beli uang. Perilaku beli ulang dapat yang dapat diartikan sebagai perilaku konsumen yang hanya membeli sebuah produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaan di dalamnya. Sebaliknya loyalitas merek mengandung aspek kesukaan konsumen pada sebuah merek.
MEREK DAN ATRIBUT PRODUK SEBAGAI OBYEK LOYAL
Obyek yang dimaksud adalah merek atau atribut lain yang melekat pada produk. Akan tetapi, atribut lain seperti kualitas, kemasan, warna, dan sebagainya, jarang digunakan oleh pelanggan sebagai obyek loyal; dan tentunya akan menjadi lebih sulit pengukurannya. Jika seorang pelanggan menggunakan atrbut lain sebagai obyek loyal, pada akhirnya juga akan dikaitkan dengan merek favoritnya. Demikian halnya dengan atribut yang lain seperti kualitas dan kemasan.
KATEGORI LOYALITAS
Jacoby dan Chestnut (1978) telah mebedakan empat macam loyalitas, yaitu :
1. Loyalitas merek fokal yang sesungguhnya (true focal brand loyality), loyalitas pada merek tertentu yang menjadi minatnya,
2. Loyalitas merek ganda sesungguhnya (true multibrand loyalty), termasuk merek fokal
3. Pembelian ulang (repeat purchasing) merek fokal dari nonloyal, dan
4. Pembelian secara kebetulan (happenstance purchasing) merek fokal oleh pembeli-pembeli loyal dan nonloyal merek lain.
Kategori loyalitas inilah yang selalu diharapkan oleh pemasar pada pelanggannya. Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yang sesungguhnya dapat dilakukan dengan menguji :
1. Struktur keyakinan (kognitif), artinya informasi merek yang dipegang oleh konsumen (yaitu, keyakinan konsumen) harus menunjuk pada merek fokal yang dianggap superior dalam persaingan
2. Struktur sikap (afektif), artinya tingkat kesukaan konsumen harus lebih tinggi dari merek saingan, sehingga ada preferensi yang jelas pada merek fokal dan
3. Struktur niat (konatif) konsumen terhadap merek fokal, artinya konsumen harus mempunyai niat untuk membeli merek fokal, bukannya merek lain, ketika keptusan beli dilakukan.
Konsumen pada kondisi sepert ni dapat melakukan pembelan ulang karena hanya satu merek yang tersedia di penjual terdekat. Jika patronase pengulangan dan sikap relatifnya sama-sama rendah, tidak terjadi loyalitas. Akan tetapi, kebutuhan yang bersifat sering untuk suatu produk atau layanan, pembelan ulang yang rendah pada sebuah merek masih dapat memberikan harapan bagi pemasar apabila dapat ditanamkan sikap relatif yang tinggi pada konsumen.
TAHAP-TAHAP LOYALITAS BERDASARKAN PENDEKATAN ATTITUDINAL DAN BEHAVIOURAL
Tahap pertama : Loyalitas Kognitif
Konsumen yang mempnyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya. Jadi, loyalitasnya hanya didasarkan pada kognisi saja. Sebagai contoh, sebuah pasar swalayan secara konsisten selalu menawarkan harga yang lebih rendah dari pesaing yang ada. Jadi, pemasar harus memiliki alasan yang lebih kuat lagi agar konsumen tetap loyal.
Tahap kedua : Loyalitas Afektif
Sikap merupakan fungsi dar kognisi (pengharapan) pada periode awal pembelian (masa pra konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya plus kepasan di perode berikutnya (masa pasca konsumsi). Seperti dikemukakan oleh Johnson, Anderson, dan Fomell (1995), bahwa kepuasan itu merupakan konstrak kumulatif yang dapat dimodelkan sebagai model dinamis kepuasan pasar.
Karena pendekatan behavioural menekankan pada tindakan rill konsumen dalam pembelian ulang maka model matematis di muka dapat dimodifikasi ke dalam model konseptual.
Munculnya loyalitas afektif ini didorong oleh factor kepuasan. Namun demikan masih tetap belum menjamin adanya loyalitas. Menurut penelitan, kepuasan konsumen berkorelasi tinggi dengan niat membeli ualang di waktu mendatang.
Tahap Ketiga : Loyalitas Konatif
Konasi mennjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu kearah suatu tujan tertentu. Loyalitas konatif merupakan suatu kondisi loyal yang mnecakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Jenis komitmen ni sudah melampaui afek, bagian dari property motivasonal untuk mendapatkan merek yang disukai. Afek hanya menunjukkan kecenderungan motivasional, sedangkan komitmen menunjukkan suatu keinginan untuk menjalankan tindakan.
Tahap Keempat : Loyalitas Tindakan
Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti oleh motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut. Jadi, tindakan merupakan hasil dari pertemuan dua kondisi tersebut. Dengan kata lain, tindakan mendatang sangat didukung oleh pengalaman mencapai sesuatu dan penyelesaian hambatan. Ini menunjukkan bagaimana loyalitas itu dapat menjadi kenyataan, yaitu pertama-tama sebagai loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyaltas konatif, dan akhirnya sebagai loyalitas tindakan.
KUALITAS PRODUK UNTUK MENGEMBANGKAN LOYALITAS MEREK
Konsumen yang memperoleh kepuasan atas produk yang dibelinya cenderung melakukan pembelian ulang produk yang sama. Ini dapat digunakan oleh pemasar untuk mengembangkan loyalitas merek dar konsumennya. Jika pemasar sangat memperhatikan kualitas, bahkan diperkuat dengan periklanan yang intensif, loyalitas konsumennya pada merek yang ditawarkan akan lebih mudah diperoleh. Kualitas dan periklanan itu menjadi factor kunci untuk menciptakan loyalitas merek jangka panjang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumen akan menjadi loyal pada merek-merek berkualitas tinggi jika produk-produk itu ditawarkan dengan harga yang wajar. Contoh : pasta gigi Crest, saos tomat Heinz, dan rokok Marlboro.
PENGUKURAN LOYALITAS MEREK
Loyalitas merek menunjukkan kecenderungan konsumen untuk membeli sebuah merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Cara in mempunya kelemahan, yaitu bahwa penentuan loyalitas merek itu sangat arbitrer dan meragukan. Apakah konsumen itu dianggap loyal jika mereka mencurahkan 100% pembelian mereka pada satu merek tertentu? Atau seharusnya 75%? Atau mungkin 50%? Cara ini tidak memperhatikan factor kondisi penggunaan yang berbeda. Sebagai subsitusi bagi suatu produk, produk tertentu itu kemungkinan dibel untuk tujuan yang berbeda.
BAGAIMANA MENGIDENTIFIKASI PELANGGAN YANG LOYAL PADA MEREK ?
Dalam praktek, pengidentifikasian loyalitas merek harus dilakukan secara terus-menerus. Basis harian, mingguan, atau bulanan dapat dipakai sesuai dengan karakteristik keputusan beli konsumen. Perlu diperhatikan juga bahwa jika konsumen membeli produk-produk tertentu karena pengaruh promosi penjualan dari pemasar dan bukannya karena kualitas positif ntrinsik produk tersebut, maka konsumen akan memiliki kebiasaan beli hanya ketika diadakan promosi penjualan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAGI PEMASAR
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa kesukaan merek itu terbentuk mulai ketika konsumen masih anak-anak dan menginjak dewasa ( Guest, 1964 dalam Solomon, 1996). Konsumen yang loyal pada merek akan membentuk suatu basis yang solid bagi profitabilitas merek itu. Konsumen yang loyal merek dapat diidentifikasi berdasar pola pembeliannya, seperti runtutan pembelian (tiga atau empat kali pembelian yang sama) atau proporsi pembelian (delapan dari sepuluh kali pembelian merek yang sama). Karena pengukuran loyalitas merek melibatkan pembelian ulang dan komitmen pada merek, maka akan sulit dibedakan antara konsumen yang loyal merek dan konsumen yang pembeliannya berdasarkan kebiasaan. Pemasar dapat mempengaruhi pola pembelian konsumen dengan melakukan promosi penjualan yang intensif seperti pemberian kupon, atau dengan menawarkan perubahan harga. Komitmen merek yang kuat selalu ada pada konsumen yang loyal merek, sehingga mereka tidak akan mudah berpindah merek. Untuk memperkuat upaya tersebut pemasar perlu memperhatikan kualitas produknya dan kegiatan-kegiatan yang mengkomunikasikan kualitas tersebut. Disamping itu, loyalitas merek yang dkembangkan mencakup semua aspek psikologis konsumen secara total agar tidak mudah berubah, yaitu aspek kognitif, afektif, konatif, dan tindakan.
REFERENSI
Aaker, D. A. (1991), Managing Brand Equity : Capitalizing on the Value of a Brand Name. New York : The Free Press.
Ajzen, I. (1987), “Attitudes, Traits, and Actios: Dispositional Prediction of Behavior in Personality and Social Psychology, “in L. Berkowitz (Ed.), Advances in Experimental Social Psychology, Vol. 20, San Diego, CA : Academic Press, Inc, pp. 1-63.
Ajzen I. (1998), Attitudes, Personality, and Behavior. Milton Keynes, UK : Open University Press
Ajzen, I. and M. Fishbein (1980), Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior. Englewood Cliffs, N J : Prentice Hall, Inc.
Assael, H. (1995), Consumer Behavior and Marketing Action, 5th ed. Cincinnati, OH: South-Western College Publishing.
Bagozzi, R. P; H, Baumgartner; and Y. Yi (1992), “State versus Action Orientation and the Theory of Reasoned Action: An Application to Coupon Usage,” Journal of Consumer Research, Vol 18 (Marc), pp.505-518
Bagozzi, R. P. and P. R. Warshaw (1990), “Trying to Consume,” Journal of Consumer Research, Vol. 17 (September), pp.127-140
Beatty, S. E; L. R. Kahle; and P. Homer (1998), “The Involvement Commitment Model; Theory and Implications,” Journal of Consumer Research, Vol.2, pp. 157-167
Boulding, W; A. K Ira; R. Staelin; and V. A: Zeithaml (1993), “A Dynamic Process Model of Service Quality: From Expectatons to Behavioral Intentions,” Journal of Marketing Research, Vol. 30 (February), pp. 7-27.
Crosby, L. A. and J. R. Taylor (1983), “Psychological Commitment and Its Effects on Post-Decision Evaluation and Preference Stabilitry among Voters,” Journal of Consumer Research, Vol 9 (March), pp.413-431.
Day, G. S. (1969), “A Two-Dimentional Concept of Brand Loyalty,” Journal of Advertising Research, Vol. 9 (September), pp. 29-35.
Dharmmesta, B. S. 1992, “Riset tentang Minat dan Perilaku KOnsumen: Sebuah Catatan dan Tantangan bagi Peneliti yang Mengacu pada ‘Theory of Reasoned Action,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. VII, no. 1, h. 39-53
Dhammesta, B. S. 1997, “Keputusan-keputusan Stratejik untuk Mengeksplorasi Sikap dan Perilaku Konsumen,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.12, no. 3, h. 1-17.
Dharmmesta, B .S. 1998,” Theory of Planned behavior dalam Penelati Sikap, Niat, dan Perilaku Konsumen,” KELOLA Gadjah Mada University Business Review, Vol VII, No.18, h.85-103
Dick, A. S. and K. Basu (1994), “ Customer Loyalty: Toward an Integrated Conceptual Framework,”Journal of the Academy of Marketing Science, Vol 22, No.2 (Spring), 99-113
Fishbein, M.and I. Ajzen (1975), Belief, Attitude, Intention and Behaviour. Reading, MA: Addison-Wesley
Tidak ada komentar:
Posting Komentar